Beberapa peraturan perundangan yang berkaitan dengan penyusunan Rencana Tata Ruang Khusus Wilayah Adat Suku Berco meliputi aspek keruangan, terutama hak dan kewajiban dalam pengelolaan ruang oleh pemerintah dan masyarakat berdasarkan fungsi yang ada dalam satuan wilayah Adat.
1.7.1. Peraturan yang Menyangkut tentang Penataan Ruang
Berikut ini akan di sajikan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan perundang-undangan lainnya yang menyangkut Penataan Ruang, diantaranya :
· UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Tata ruang adalah wujud perencanaan struktural dan pola pemanfaatan ruang yang direncanakan maupun tidak direncanakan (UU No 26 /2007). Penataan ruang merupakan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang Khusus tidak terlepas dari kaidah-kaidah perencanaan, dijelaskan bahwa titik berat RTRW adalah strategi pelaksanaan pemanfaatan ruang kabupaten dengan pola pengelolaan kawasan lindung dan budidaya, pengelolaan kawasan per-desa, perkotaan, dan kawasan tertentu, sistem kegiatan pembangunan dan permukiman per-desa dan perkotaan, sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, pengelolaan lingkungan, penatagunaan tanah, air, udara yang menekankan keterpaduan dengan sumber daya buatan dan SDM.
Penataan ruang didasarkan pada fungsi utama kawasan menurut UU No 26/2007 adalah kawasan lindung dan kawasan budidaya, sedangkan secara administratif meliputi kawasan Nasional, kawasan Provinsi dan Kabupaten. Pada ayat 1 pasal 8 UU No 26/07 menyatakan bahwa dalam penataan ruang wilayah nasional dilakukan secara terpadu tidak dipisah-pisahkan. Artinya wilayah dibagi habis atas Provinsi, Kabupaten/Kota serta desa-desa. Sedangkan penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan tidak berpatokan pada batas administrasi tersebut.
· Undang – undang No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah
Wilayah Indonesia terdiri dari daerah provinsi, daerah kabupaten, dan daerah kota yang otonom dalam arti daerah yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingannya sesuai dengan prakarsa berdasarkan aspirasi masyarakat. UU No. 32/2004 menjelaskan atau mengatur penyelenggaraan pemerintahan di daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah seperti wilayah kewenangan Kebupaten/Kota.
Kaitannya dengan pengelolaan sumber daya di daerah, dalam UU No. 32/2004 dijelaskan bahwa pemerintah daerah bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan dan sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun sumber daya yang termasuk sumber daya nasional adalah sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia yang ada di daerah.
· UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
Dalam mendukung penyelenggaraan otonomi daerah sangat tergantung pada penyediaan sumber-sumber pembiayaan desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan yang mengatur sistem keuangan atas kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang jelas antar tingkat pemerintah. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan pokok pembentukan UU No. 33/2004 :
o Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah
o Menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggungjawab, dan pasti.
o Mewujudkan sistem perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah yang mencerminkan pembagian tugas
o kewenganan dan tanggung jawab yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah.
o Menjadi acuan dalam alokasi penerimaan negara bagi daerah.
o Mempertegas sistem pertanggungjawaban keuangan oleh pemerintah daerah.
o Menjadi pedoman pokok tentang keuangan daerah.
Seperti yang diungkapkan pada uraian di atas bahwa dalam sumber pembiayaan penyelenggaraan di daerah dapat dibedakan berdasarkan desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi sumber pembiayaan berupa dana perimbangan dalam pembagian hasil pengelolaan sumber daya wilayah otonom.
Secara lebih jelasnya dapat dilihat dalam proporsi perimbangan berdasarkan jenis kegiatan pengelolaan antara lain.
o Dalam penerimaan negara dari pajak bumi dan bangunan dibagi dengan imbangan 10% untuk pemerintah pusat dan 90% untuk daerah.
o Dalam penerimaan negara dari bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah.
o 10 % penerimaan pajak bumi dan bangunan dan 20 % penerimaan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi bagian dari pemerintah pusat.
o penerimaan negara dari sumber daya alam sektor kehutanan, pertambangan umum dan sektor perikanan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat dan 80% untuk daerah.
Lebih lanjut dalam penjelasan UU dijabarkan pembagian berdasarkan sektor-sektornya sebagai berikut :
a) Sektor kehutanan ; 80% dari penerimaan iuran hak pengusahaan hutan dibagi dengan perincian untuk bagian provinsi sebesar 16% dan untuk kabupaten sebesar 64%. 80% dari penerimaan provinsi sumber daya hutan dibagi dengan perincian bagian provinsi sebesar 16%, bagian kabupaten/kota penghasil sebesar 32%, dan bagian
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 32%.
b) Sektor pertambangan umum ; 80% dari penerimaan iuran tetap (land rent) dibagi dengan perincian bagian provinsi sebesar 16% dan bagian kabupaten/kota penghasil 64%. 80% dari penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi (royalti) dibagi dengan perincian bagian provinsi sebesar 16%, bagian kabupaten/kota penghasil sebesar 32%, bagian kabupaten/kota lain dalam provinsi yang bersangkutan sebesar 32%.
c) Sektor perikanan ; 80% dari pungutan pengusahaan perikanan dan pungutan hasil perikanan dibagikan secara merata kepada seluruh kabupaten/kota di Indonesia.
d) Penerimaan negara dari pertambangan minyak bumi setelah dikurangi pajak, dibagi dengan imbangan 85% untuk pemerintah pusat dan 15% untuk daerah dengan perincian sebagai berikut: bagian provinsi sebesar 3%, bagian kabupaten/kota penghasil sebesar 6%, bagian kabupaten/kota lainnya dalam provinsi sebesar 6%.
e) Penerimaan negara dari pertambangan gas alam setelah dikurangi pajak, dibagi dengan imbangan 70% untuk pemerintah pusat dan 30% untuk daerah. dengan perincian untuk daerah sebagai berikut: bagian provinsi sebesar 6%, bagian kabupaten/kota penghasil sebesar 12%, bagian kabupaten/kota lainnya dalam provinsi bersangkutan sebesar 12%.
· UU No. 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistimnya, PP No. 68/1998 kawasan Suaka Alam dan kawasan pelestarian Alam merupakan kewenangan pusat, artinya tanggung jawab pengelolaan kawasan konservasi berada pada pemeritah pusat, hal ini dianggap semua permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi menjadi tanggung jawab pemerintahan pusat. Hal ini telah menimbulkan permasalahan mendasar berkaitan dengan kewenangan dan kontribusi kawasan terhadap daerah kabupaten/kota yang memiliki kawasan konservasi. Sehingga fungsi pengelolaan konservasi dan hutan lindung belum mendapat sambutan karena tidak memberikan keuntungan financial
(cashflow) nyata dan langsung pada daerah, kenyataan juga aparatur daerah memiliki kebijakan short planning.
· PP No 26 Tahun 2008, tentang RTRWN
Rencana Tata Ruang Nasional mengatur tentang fungsi ruang yang berisi: 1) penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya dan kawasan tertentu, 2) norma pemanfaatan ruang, 3) pedoman pengendalian pemanfatan ruang. Tata Ruang Nasional menjadi pedoman pokok dalam perumusan Tata Ruang di wilayah nasional.
· PP No. 69 Tahun 1996, tentang Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang
Hak dan kewajiban warga negara dan peranserta masyarakat dalam penetapan ruang telah diatur dalam PP No 69/96 dan secara teknis telah dilengkapi dengan Permendagri No. 9/98. Secara situasional keterlibatan masyarakat walaupun sudah diatur namun belum dilaksanakan secara optimal sesuai dengan apa yang digariskan dalam peraturan perundang-undangan. Karena tangung jawab penyelengaraan penentuan sesuai dengan peraturan menteri dan berada pada pemerintah daerah, karena dalam prosesnya pemeritah masih melakukan kegiatan sebatas tangung jawab pada kontrak kerja dengan konsultan dengan (input) terbatas untuk menentukan arah pemanfaatan ruang.
Aspek pemanfaatan ruang dapat diwujudkan dalam bentuk pemanfaatan ruang sesuai RTRW Kabupaten, memberi masukan untuk penetapan lokasi pemanfaatan ruang, menjaga, memelihara, dan meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan, dan lain-lain, sedangkan dalam aspek pengendalian pemanfaatan ruang, partisipasi masyarakat bisa diwujudkan dengan membantu pengawasan, pemberian informasi dan laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah serta pemikiran/pertimbangan untuk penertiban kegiatan pemanfaatan ruang.
· Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung
Agar komponen-komponen tata ruang yang ada di setiap kabupaten dapat mengacu pada kepentingan yang lebih besar (kepentingan provinsi/nasional), maka diperlukan kebijakan pusat yang mengatur tentang penetapan kawasan lindung yang dibuat melalui kriteria-kriteria yang sudah ditentukan. Kebijakan penetapan kawasan lindung ini diatur dalam Bab V Pasal 34 Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Penetapan Kawasan Lindung yang tetapkan oleh pemerintah daerah provinsi dan dijabarkan secara lebih mendetail oleh pemerintah daerah kabupaten/kota. PP No. 32 Tahun 1990 ini juga menjelaskan tentang penetapan jenis-jenis dan ruang lingkup ruang yang dapat dikategorikan sebagai kawasan lindung.
· Peraturan perundang-undangan lainnya
Selain peraturan perundangan di atas yang mengurusi secara langsung, juga terdapat beberapa peraturan-peraturan pendukung, seperti UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, UU No. 24 Tahun 1964 tentang Penggolongan Bahan-bahan Galian. Pada PP No 47 /97 Tata Ruang Nasional memberikan garisan dalam penyusunan tata ruang harus mempertimbangkan fungsi perutukan wilayah terkait dengan kawasan budidaya dan kawasan lindung. Secara teknis perencanaan tata ruang tidak bisa dipisahkan dalam membangun fungsi ruang secara optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, regional maupun daerah.
1.7.2. Undang-Undang dan Peraturan yg menyangkut Pengakuan Negara terhadap Keberadaan Tanah Ulayat/Adat
· Amandemen Pasal 18 ayat 2 UUD 1945 berbunyi :
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang”
Pasal diatas merupakan bentuk Pengakuan Negara terhadap tanah Ulayat
· Pasal 5 UUPA ( UU 5/1960 ) menyebutkan :
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.
Pasal diatas merupakan pengakuan Negara Indonesia terhadap keberadaan wilayah-wilayah yg diatasnya masih berlaku hukum dari suatu komunitas yang menyangkut pengaturan tanah di wilayahnya .
· Pasal 2 Peraturan Menteri Agraria/KBPN No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat, disebutkan:
(1) pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat.
(2) Hak ulayat masyarakat hukum adat masih ada apabila:
a. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
b. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan
c. terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
· Pasal 67 UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan sebagai berikut:
“Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak:
a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat, yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraa “
· Pasal 5 UU no 41 tahun 1999 tentang Pokok Kehutanan, sebagai berikut :
“ Pemerintah menentukan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) “ dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat masih ada dan diakui keberadaannya. Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yg bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada pemerintah.”
· TAP MPR no IX/MPR-RI/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, khususnya Pasal 4 yang menyatakan bahwa :
“Negara mengakui, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdayaa graria/sumberdaya alam. “
1.8. Pandangan Hukum Mengenai Tanah Ulayat/Adat
Untuk dapat memahami persoalan yg menyangkut Tanah Ulayah , berikut ini disajikan pandangan Pakar Hukum mengenai Tanah Ulayat
Prof Dr Suriyaman Mustari Pide, SH, MH
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof Dr Suriyaman Mustari Pide, SH, MH dalam wawancaranya dengan wartawan Harian Fajar (Sulawei Utara) tgl 21 oktober 2009
Bagaimana sebenarnya peraturan terkait tanah adat itu?
Begini, hukum adat itu adalah hukum yang berasal dari perilaku perilaku hukum orang perorang yang dianuti oleh suatu masyarakat hukum adat. Hal ini kemudian dipatuhi secara spontan oleh masyakat adat tersebut. Termasuk di dalamnya penguasaan tanah yang pengelolaanya dilakukan secara turun temurun. Kemudian kalau bicara tanah adat, maka akan berbicara hak kolektif masyarakat adat. Namun, hak kolektif ini dimungkinkan menjadi hak perorangan bilamana sudah dimiliki secara turun temurun. Hak inilah yang harus dilindungi negara dan tidak bias dicaplok begitu saja. Apalagi jika dipindahkan hak penguasaannya kepada orang lain.
Lalu, mengapa negara seringkali mengambil begitu saja tanah milik warga yang hanya berlandaskan kepemilikan hak seperti ini. Tanpa bukti yuridis seperti sertipikat?
Negara tidak konsisten pada aturan yang telah digariskan dalam UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. Padahal, UUPA secara jelas sangat menghargai keberadaan hukum adat. Termasuk hak penguasaan tanah adat. Selain itu, fakta yang terjadi seringnya disejajarkan antara hukum adat dan hukum positif (positif law). Mestinya negara memposisikan UUPA sebagai aturan pokok dalam system pengaturan pertanahan di Indonesia.
Negara tidak boleh mengambil alih begitu saja tanah yang sudah dikuasai lebih dulu atau terdapat di atasnya hak terdahulu.
Bagaimana jika dikaitkan dengan tanah negara?
Begini, dalam pasal 33 UUD NKRI 1945, dijelaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Di sini jelas bahwa tujuan negara adalah untuk memakmurkan rakyat. Nah, terkait tanah negara, maka perlu diketahui bahwa ada dua jenis tanah negara. Yakni tanah Negara bebas atau Vrijh Landomein dan tanah negara tidak bebas atau Unvrijh Landomein.
Keduanya berbeda, yaitu :
Vrijh Landomein : adalah tanah yang bebas dan tidak dikuasai oleh siapapun termasuk tidak dikuasai oleh suatu persekutuan masyarakat adat. Pada kondisi ini, negara memiliki hak sepenuhnya untuk mengambil atau memanfaatkannya guna dipergunakan demi kepentingan umum.
Unvrijh Landomein : adalah tanah yang di atasnya ada hak menguasai terdahulu. Sehingga negara tidak serta merta bisa mengambil begitu saja. Meskipun dengan alasan untuk kepentingan umum.
Posisi Negara : Negara itu tugasnya ada tiga dalam pengaturan hukum pertanahan nasional. Yakni mengatur, memelihara, dan mengawasi penggunaan tanah tersebut. Artinya, negara bertugas untuk menata peruntukkan tanah. Tetapi bukan berarti merusak tatanan hokum adat yang sebenarnya telah tertuang dalam hukum positif yakni UU Pokok Agraria itu. Negara harus melindungi hak yang sudah melekat pada masyarakat hukum adat yang sudah diakui dalam hukum positif kita.
Kamaruddin,SH dari LBH Aceh
hak ulayat suatu masyarakat hukum adat harus dilindungi dan diselaraskan sesuai dengan perkembangan zaman. Apabila hak ulayat dilepaskan oleh masyarakat hukum adat, maka harus dilakukan penyerahan oleh masyarakat hukum adat yang dikhususkan untuk keperluan pertanian atau keperluan yang memuat hak guna usaha atau hak pakai. Hak ulayat suatu masyarakat adat tidak boleh dirampas begitu saja atau dimiliki oleh suatu perseorangan atau instansi, baru sahnya penguasaan atas hak ulayat apabila dilakukan penyerahan oleh masyarakat adat.
0 komentar:
Posting Komentar