Tampilkan postingan dengan label Berita. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berita. Tampilkan semua postingan

Polres Sumbawa Panggil 'Pentolan' Adat Cek Bocek



Posted on 15 Nov 2013.
Penyidik Polres Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, melayangkan panggilan ketiga kepada Zainuddin Anggo dan Najib, 'pentolan' Komunitas Adat Cek Bocek Selesek Ren Sury, Desa Lawin, yang diduga sebagai otak perusakan basecamp Newmont Nusa Tenggara.
'Panggilannya sudah saya tandatangani, mungkin hari ini (Kamis) penyidik mengirimkannya melalui Polsek Ropang dan Kades Lawin,' kata Kasat Reskrim Polres Sumbawa Iptu Erwan Yudha Perkasa SH di Sumbawa, Kamis.
Menurut Erwan, kedua orang itu, Zainuddin Anggo dan Najib, diduga sebagai otak aksi perusakan dan pendudukan basecamp PT Newmont Nusa Tenggara (PT NTT) di lokasi eksplorasi Blok Elang, Sumbawa, belum lama ini.
Selain dua pentolan adat itu, lanjut dia, penyidik juga melayangkan panggilan kepada sembilan anggota Cek Bocek yang lain, yang ikut dalam aksi tersebut.
Dia melanjutkan, sesuai isi surat panggilan itu, mereka diminta hadir ke Markas Polres Sumbawa pada Rabu (20/11) mendatang.
'Khusus Anggo dan Najib yang sudah beberapa kali dipanggil, kami harap bersikap kooperatif. Sebab kalau dipanggil secara patut tidak hadir, penyidik sesuai kewenangannya akan melakukan upaya paksa,' ucapnya.
Erwan menjabarkan, pemanggilan terhadap sejumlah orang yang tergabung dalam Komunitas Cek Bocek ini, berdasarkan laporan PT NNT mengenai adanya aksi perusakan dan pendudukan basecamp di Blok Elang, pada 8-9 September 2013.
Saat itu, massa masuk ke lokasi basecamp dengan cara memotong pagar kawat. Aksi ini dilakukan karena massa ingin memasang patok petunjuk pemilikan hutan adat tepat di landasan heliped dan pusat kegiatan ekplorasi. Namun aksi ini berhasil dicegah aparat kepolisian, yang kemudian menghalau massa ke luar dari lokasi.
Keesokan harinya, Komunitas Cek Bocek kembali datang dan berhasil memasang patok di empat lokasi. Setiap papan patok tertulis 'Hutan Milik Komunitas Cek Bocek (Suku Berco), Bukan Hutan Negara, Putusan MK No. 35/PUU-X/2012'.
Sebelum meninggalkan lokasi, juru bicara Cek Bocek sempat mengancam akan membawa massa yang lebih banyak untuk aksi pembakaran dan perusakan atas camp eksplorasi.
Menindaklanjuti laporan itu, tim penyidik bertolak ke Blok Elang Kecamatan Ropang, lokasi eksplorasi PT Newmont, untuk melakukan olah TKP dan mengumpulkan barang bukti.
Selain itu, Kapolres Sumbawa juga terjun langsung ke lapangan untuk menemui masyarakat melakukan mediasi dan memberikan pemahaman, sebab tidak semua massa yang terprovokasi untuk memasuki wilayah Blok Elang, memahami putusan MK.(ant/rd)

BISNIS DAN HAM Gugatan UU P3H: Masyarakat Ungkapkan Ketidakjelasan Tata Batas Hutan


“Dulu kami cukup pangan dan aman masuk hutan tanpa ketakutan. Sejak 2002 berubah. Kami biasa ambil pohon buat bangun rumah meminta bantuan perusahaan PT Sari Bumi Kusuma, tetapi menolak dan bilang pohon sudah ada pemilik, Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Bakar,” kata Albertus Mardius,  masyarakat adat Ketumenggungan Siyai Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, kala memberikan kesaksian di Mahkamah Agung pada sidang lanjutan gugatan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), Rabu (3/12/14). 
Ketumenggungan Siyai pernah bermigrasi sembilan kali. Berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga menetap di satu lokasi tahun 1980. Bersamaan itu, masuk Sari Bumi Kusuma berjarak tujuh km dari kampung mereka.
Tahun 1998, mereka pemetaan partisipatif bersama instansi terkait. Pemerintah, Dinas Kehutanan, dan beberapa LSM untuk mengetahui luas wilayah adat. Hasil pemetaan luas wilayah 14.259 hektar dengan 517 keluarga.
Mereka biasa meminta bantuan perusahaan untuk mengangkut kayu karena jarak jauh dan akses masuk hutan sulit. Perusahaan menolak, masyarakat marah. Mereka aksi penutupan jalan hingga enam warga ditahan selama 49 hari.“Ditangkap tanpa ada penjelasan apapun.”
Keadaan diperparah patroli meningkat di lokasi masyarakat biasa  bekerja. Tahun yang sama, mereka tidak boleh lagi masuk kawasan, berladang, mengambil hasil hutan, membawa rotan dan lain-lain.
“Termasuk tidak boleh menyadap karet sekitar dua km dari kampung. Patroli berlanjut sampai 2007, ketika ada enam warga berladang, dua orang ditangkap. Perkara hingga ke Mahkamah Agung. Kami dinyatakan bersalah karena berladang di taman nasional.”
Sebelumnya, kata Albertus, masyarakat, tidak mengetahui TN Bukit Baka-Bukit Bakar. Penunjukan hingga penetapan tidak pernah melibatkan mereka. Padahal, masyarakat mengelola kawasan itu puluhan tahun.
“Tidak jelas bukit mana yang dipakai untuk menyebut itu. Tahun 2007,  kami baru tahu, saat itu  ladang-ladang tidak boleh ditanami padi. Kami aksi, sangat sulit, setiap aksi hanya bertemu polhut. Upaya menyelesaikan gagal terus,” katanya.
Albertus mengatakan, masyarakat merada tidak aman lagi, ladang dan pondok dirusak. Warga juga diusir.
Tersingkir dari wilayah hidup juga dialami Masyarakat Adat Cek Bocek di Kecamatan Ropang, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Datuk Sukanda, dari komunitas adat Cek Bocek menceritakan, mereka turun menurun hidup mengelola hutan. Namun, 1935,  Belanda mengusir mereka hingga pindah ke Desa Lawi. “Mereka menetap di sana tetapi kegiatan di hutan terus berjalan,” katanya.
Namun, pada 2011 masyarakat tidak boleh masuk hutan. Pemerintah melarang keras dengan alasan sudah menjadi hutan lindung.
“Pemerintah memutuskan hutan lindung diam-diam. Kami ragu beraktivitas, tidak sebebas dahulu. Kalau itu hutan lindung, mengapa ada perusahaan beroperasi?”
UU P3H abai legal policy
Pakar Hukum Tata Negara Maruarar Siahaan mengatakan, putusan MK 45 Tahun 2011 tegas menyatakan, penunjukan kawasan hutan tanpa melalui melalui proses  yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Begitu juga Putusan MK Nomor 35 tahun 2012 yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. “Ini pengakuan dan implementasi konstitusi tentang hak-hak masyarakat hukum adat menjadi bagian tidak terpisahkan  dari arah perubahan dan pembaharuan hukum yang dilakukan,” katanya.
Pada Pasal 15 UU Kehutanan,  disebutkan penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap proses pengukuhan, bukan bentuk final dari rangkaian penetapan kawasan hutan.”
Ketentuan ini, katanya, harus memperhatikan kemungkinan ada hak-hak perseorangan maupun ulayat pada kawasan hutan yang akan ditetapkan. Kala terjadi, penataan dan pemetaan batas kawasan hutan harus dikeluarkan agar tidak merugikan masyarakat.
“Ketidaktaatan arah yang dirumuskan dalam politik hukum harus ditempuh baik karena kesengajaan maupun kelalaian, menyebabkan produk hukum yang dihasilkan tidak bergerak ke arah ius constituendum yang diinginkan. Tidak memenuhi harapan mewujudkan tujuan negara yang ditetapkan dalam konstitusi.”
Dia berpendapat, norma-norma dalam UU P3H mengabaikan legal policy yang sepatutnya dikenali dalam UUD 1945 dan putusan MK nomor 45 dan 35. “Khusus kawasan hutan yang ditunjuk dengan implikasi luas atas kepentingan hukum rakyat yang sah berkenaan  dengan kawasan hutan. Ini membawa akibat tidak dapat dipertahankan norma-norma baru itu.”
Dalam pembuatan UU, katanya,  seharusnya identifikasi terhadap seluruh regulasi yang saling berkaitan.
Advokat PIL-Net, Andi Muttaqien mengatakan, para saksi bisa menjelaskan bagaimana konflik wilayah yang ditetapkan pemerintah dengan wilayah adat. “Hingga wilayah masyarakat adat hilang. Itu disertai kriminalisasi. Meski saksi-saksi ini mengatakan peristiwa penangkapan dan kriminalisasi terjadi jauh sebelum UU P3H disahkan, dengan P3H kejadian pasti terulang. Karena ancaman pidana P3H lebih kompleks daripada UU Kehutanan.”
Usai sidang Gunardo Agung, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, pendapat ahli mempunyai semangat sudah benar. Hanya dia merasa, ahli belum membaca UU P3H secara utuh.
“Kalau sudah membaca utuh, tentu tak akan ngomong seperti itu. Definisi kawasan hutan sudah terkoreksi. Bahwa kawasan hutan itu yang sudah ditetapkan. Kami juga lebih paham daripada dia,” katanya.
Begitu juga keterangan masyarakat adat. Menurut dia, mereka hanya mempunyai semangat tetapi tak paham substansi UU P3H.
“Justru kalau UU P3H tidak lahir, marak penebangan liar. Apa hutan mau dijadikan padang pasir? UU ini untuk menjerat kejahatan terorganisir. Pembalakan liar oleh korporasi. Masyarakat tak ada yang kita tangkap. Malah kita bina,” katanya. Dia menutup mata beberapa warga yang hidup di kawasan hutan sudah terjerat P3H.
Namun, dia mengakui selama ini belum ada perusahaan dijerat UU P3H. Dia menilai, perusahaan sudah ketakutan dengan UU P3H.

Komnas HAM Terima Aduan Masyarakat Adat di NTB

Bisnis.com, MATARAM 13/Nov/2014
Konflik agraria akibat kegiatan eksplorasi PT Newmont Nusa Tenggara di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, kian runcing setelah masyarakat adat di wilayah tersebut melakukan pengaduan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Sejumlah warga yang menamakan diri mereka masyarakat adat Cek Bocek mengaku sejak kegiatan eksplorasi berlangsung, tanah mereka seakan dirampas karena dilarang memasuki hutan adat yang lokasinya termasuk ke dalam wilayah konsesi PT Newmont Nusa Tengara (NNT).
Padahal, sudah menjadi kebiasaan masyarakat adat Cek Bocek untuk melakukan ritual seperti ziarah kubur di dalam hutan adat. Alasan yang diberikan, lokasi tersebut sedang digunakan untuk survey pertambangan.
Kuburan leluhur kami berada dalam hutan adat yang dipagar PT NNT, sehingga kami tidak bisa lagi melakukan ritual untuk menghormati nenek moyang kami, ujar M. Nasir Hasan, warga adat Cek Bocek, Kamis (13/11).
Dia mengungkapkan jika ada warga adat yang ingin memasuki hutan, maka harus melalui pemeriksaan yang ketat oleh sejumlah polisi.
Pengakuan lebih gamblang diungkapkan warga adat Cek Bocek lainnya, Anggo. Menurutnya warga tak hanya dilarang memasuki hutan adat, tetapi juga mendapat berbagi intimidasi.
Kami sering dipaksa dengan berbagai ancaman untuk kasih tanda tangan supaya Cek Bocek bubar, tuturnya.
Sementara itu, pihak NNT menampik dugaan adanya pelanggaran hak-hak masyarakat adat Cek Bocek. Mereka mengatakan telah melakukan kegiatan sesuai tauran main. Bahkan, menurut mereka masyarakat adat Cek Bocek yang keberadaannya tidak jelas.
Kami lapor kepada pemerintah. Kami juga mengecek ke desa dan di sana sendiri tidak mengakui keberadaan masyarakat adat Cek Bocek, ujar Sarafuddin Djarod sebagai perwakilan NNT.
Menanggapi kejadian tersebut, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan inkuiri nasional serta dengar keterangan umum yang dilaksanakan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, kemarin, guna mencari tahu apakah ada indikasi pelanggaran HAM di dalamnya.
Editor : Martin Sihombing

Inkuiri Komnas HAM Hadirkan PT Newmont

MATARAM--14/nov/2014

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) kembali menggelar inkuiri nasional terkait sengketa lahan adat di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Kamis (13/11). PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) didatangkan terkait tudingan perampasan lahan adat  komunitas Cek Bocek di area pertambangan emas di Kabupaten Sumbawa, NTB.

Tokoh adat Cek Bocek, Anggo Zainudin, menyatakan dalam inkuiri bahwa PT NNT melakukan kegiatan eksplorasi tambang di wilayah adat mereka di bagian selatan Kabupaten Sumbawa. Tepatnya, di wilayah yang dikenal masyarakat setempat sebagai kawasan Dodo, Lebak, Suri, dan Lawin.

Menurut Anggo, leluhur mereka telah berdiam di lokasi tersebut tetapi diusir pemerintah kolonial Belanda pada 1937. Buktinya berupa sejumlah kuburan kuno yang terserak di lokasi tersebut.

Menurut Anggo, anggota komunitas adat Cek Bocek kerap dihalang-halangi ketika hendak melakukan ziarah ke kuburan-kuburan tersebut. Penghalangan tersebut, kata Anggo, beberapa kali dilakukan dengan ancaman kekerasan. "Kita diancam dengan parang," ujar Anggo.

Selain itu, eksplorasi tambang juga ia sebut merusak hasil kebun komunitas itu seperti kelapa, mangga, dan kemiri. Ia meminta PT NNT menunda segala kegiatan tambang di wilayah itu sebelum tercapai kesepakatan dengan komunitas Cek Bocek. Menurutnya, perampasan lahan yang dilakukan PT NNT adalah pelanggaran HAM.

Menurut keterangan Pemkab Sumbawa, kawasan yang dimaksud komunitas Cek Bocek masuk dalam wilayah hutan negara. PT NNT mendapat hak pinjam pakai atas wilayah itu sejak 1987.

Staf ahli Bupati Sumbawa, M Iksan Safitri, mengatakan, pemkab belum mengakui keberadaan komunitas adat Cek Bocek. Oleh karena itu, pemkab tak bisa menindaklanjuti klaim mereka.

Ia mengakui, pemkab sempat meminta komunitas tersebut tak beraktivitas di wilayah tambang. Kendati demikian, permintaan itu tak disertai dengan paksaan. Ia menegaskan, di Sumbawa hanya satu masyarakat adat yang diakui, yakni Tana Samawa. Di luar itu, tak diakui.

Manajer Social Relation PT NNT Safarudin Jarot mengatakan, sejak 1987 tak ada klaim atas tanah yang digarap perusahaannya. Klaim pertama datang pada 1999, tetapi bisa dimentahkan. Pada 2004, komunitas Cek Bocek mulai mengajukan klaim.

Atas hal itu, ia mengatakan PT NNT hanya menggunakan tanah negara. Ia menyerahkan persoalan klaim dari Cek Bocek pada pemerintah.

Ia mengakui adanya sejumlah kuburan, tetapi perusahaannya tak pernah melakukan pemaksaan terhadap komunitas Cek Bocek untuk meninggalkan wilayah tambang.

Komisioner Komnas HAM Sandrayati Moniaga selepas inkuiri mengatakan, pelanggaran HAM terhadap komunitas Cek Bocek bisa jadi memang terjadi. Namun, yang tak kalah penting, harus diteliti keabsahan Cek Bocek sebagai komunitas adat.

Sebanyak lima kasus sengketa lainnya akan diperdengarkan melalui inkuiri di Mataram. Inkuiri berlangsung selama lima hari.

Sebelumnya, inkuiri terkait dugaan pelanggaran hak wilayah masyarakat adat telah digelar di beberapa kota lainnya, di antaranya Medan, Lebak, Palu, Ambon, Palangkaraya. ed: muhammad hafil
Sumber : http://www.republika.co.id/berita/koran/hukum-koran/14/11/14/nf0osa6-inkuiri-komnas-ham-hadirkan-pt-newmont

Tanah Ulayat Cek Bocek vs HGU PTNNT, BPN Sumbawa Dipanggil Hearing oleh Komnas HAM.

Sumbawa Besar, Gaung NTB – Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia mengundang kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional (BPN) Propinsi NTB bersama kepala BPN Sumbawa pada pertemuan hearing untuk menjelaskan tanah ulayat yang diklaim komunitas adat Cek Bocek Selesek Ren Suri di Desa Lawin Kecamatan Ropang Kabupaten Sumbawa.

Undangan Pertemuan itu disampaikan melalui surat Komnas HAM RI tertanggal 22 Oktober 2014 dan akan dilaksanakan pada hari Kamis 13 Nopember 2014 di Kanwil kementerian Hukum dan HAM di Jalan Majapahit Mataram.
Kepala BPN Sumbawa Ramli SH MH ketika dikonfirmasi Gaung NTB di ruang kerjanya Selasa (28/10) siang, membenarkan bahwa pihaknya telah menerima surat tersebut.
Menurutnya, pihaknya akan dimintai penjelasan terkait dengan tanah ulayat komunitas adat Cek Bocek Ren Suri sekaligus tentang kawasan konsesi PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT). “Kami telah berkonsultasi dengan Kanwil BPN-NTB trekait dua persoalan tersebut,” katanya.
Ramli menjelaskan, dari hasil evaluasi data permohonan, ternyata tidak satupun permohonan hak guna usaha (HGU) yang pernah diajukan oleh PT NNT maupun dari komunitas adat Cek Bocek atas lahan di kawasan Kecamatan Ropang. Sehingga untuk mengetahui dengan jelas permasalahan yang terjadi atas pengklaiman tanah ulayat ataupun kawasan hutan dimaksud sebagaimana klarifikasi undangan hearing Komnas HAM itu, maka dalam waktu dekat ini pihak BPN Sumbawa akan segera melakukan koordinasi dengan Pemda Sumbawa khususnya leading sektor terkait Bagian Hukum maupun Pemerintahan Setda Sumbawa termasuk Distamben Sumbawa, untuk dapat mengetahui dengan jelas sejauhmana keberadaan Komunitas Adat Cek Bocek serta penguasaan kawasan lahan konsesi oleh PT NNT di kawasan Elang Dodo Rinti.
“Terus terang saya sebagai Pimpinan yang baru beberapa bulan bertugas tidak mengetahui dengan persis persoalannya,” kata Ramli. “Karena itulah data dan informasi akurat sangat diperlukan dari Pemda Sumbawa, apalagi menyangkut persoalan tanah ulayat dan kawasan hutan ini sudah menjadi persoalan nasional yang kini ditangani serius oleh Komnas HAM,” tukas Ramli.
Ramli juga menyatakan jika mengacu kepada Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 5 tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian masalah hak ulayat masyarakat hukum adat khususnya dalam ketentuan Pasal 3 UUPA menetapkan bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa ituari masyarakat hukum adat, masih tetap dapat dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu menurut kenyataannya masih ada.
Ramli memaparkan, tanda-tanda yang perlu diteliti untuk menentukan masih adanya hak ulayat meliputi 3 unsur yakni unsur masyarakat adat yakni terdapatnya sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
Unsur kedua adalah unsur wilayah, sambung Ramli, yaitu terdapatnya tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari dan unsur hubungan antara masyarakat tersebut dengan wilayahnya yaitu terdapatnya tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayatnya yang masih berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Penelitian mengenai ketiga unsur dimaksud dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan pihak-pihak yang berkepentingan dan pihak-ihak yang dapat menyumbangkan peranannya secara obyektif antara lain para tetua adat, para pakar adat, wakil Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan wakil Instansi yang bertanggungjawab mengenai pengelolaan sumberdaya alam misalnya Kehutanan, Pertambangan dan sebagainya apabila tanah ulayat itu diperkirakan meliputi tanah yang ada hutan atau bahan tambangnya.
Apakah kriteria dan penelitian soal hak ulayat itu pernah dilaksanakan atau tidak oleh Pemda Sumbawa, tentu hal ini harus dikomunikasikan dengan pihak terkait agar dapat diketahui dengan jelas persoalan yang terjadi, tandas Ramli. 

Komunitas Adat Cek Bocek Dikriminalkan di Atas Tanah Wilayah Adatnya Sendiri.

CEK BOCEK MINTA KEADILAN “ POLRES SUMBAWA HARUS OBJEKTIF DALAM BERSIKAP”
Sumbawa, NTB. Belum selesai kasus Masyarakat Adat Pekasa, muncul kembali persoalan baru dengan PT. Newmont  Nusa Tenggara. Persoalan ini berawal dari pemasangan plang Keputusan MK 35 di atas wilayah adat Cek Bocek Selesek Reen Suri pada tanggal 8 September 2013 lalu. Pada saat pemasangan plang situasi di lapangan cukup panas, sebab pihak perusahaan PT NNT tidak mengizinkan  pemasangan plang bertuliskan ini wilayah Hutan Adat kami.
Sempat terjadi dialog antara pihak perusahaan dan warga Cek Bocek untuk tidak memasang plang /patok tersebut di dalam areal pagar lokasi base camp PT.NNT.
Namun hal tersebut sama sekali tak dihiraukan warga komunitas Cek Bocek, Pak Anggo Zaenuddin (Punggawa Adat) dan Najib (Pemuda Adat)  tetap memasang plang. Kemudian  pihak perusahaan melakukan negoisasi agar ada pertemuan di rumah adat Cek Bocek, namun hal tersebut tidak terlaksana, justru koran lokal memuat berita bahwa perusahaan PT.NNT menyiapakan pertemuan pada tanggal 19 september 2013. Padahal pihak perusahaan sendiri yang tidak hadir.
Terkait persoalan tersebut, warga Cek Bocek kembali lagi ke lokasi base camp, sesampai di lapangan bernegoisasi dengan pihak perusahaan, pihak Kehutanan Sumbawa, Camat Lenangguar, terjadi salah interpretasi bahwa Wilayah Dodo masuk dalam Wilayah Kec. Lenangguar. Masyarakat Cek Bocek agak emosi, lalu disodorkan surat panggilan oleh pihak Polres Sumbawa, surat panggilan untuk jadi saksi atas perbuatan yang tidak menyenangkan dan masuk pekarangan tanpa ijin.
Pelanggaran pasal 406 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 335 ayat (1) KUHP Jo pasal 167 ayat (2) KUHP, dalam perkara tindak pidana pengrusakan dan dengan melawan hak memaksa seseorang untuk  melakukan atau tidak menyenangkan serta dengan cara memaksa/ merusak memasuki pekarangan orang lain tanpa hak/ ijin. Dalam isi surat tersebut diminta untuk menghadap pada hari Jum’at pada tanggal 11 September 2013 pukul 09.00 Wita.
Panggilan tersebut ditolak oleh Pak Anggo dan Najib, dasarnya menolak karena Cek Bocek pernah meminta Kapolres Sumbawa untuk menindak lanjuti surat Cek Bocek No; 052/ Komunitas Adat Cek Bocek/ VIII/ 2011, tanggal 2 Agustus 2011 tentang permohonan  pada Kapolres Sumbawa untuk menertibkan aktvitas Illegal Mining PT.NNT di atas wilayah adat Cek Bocek. Atas pandangan itulah Komunitas Cek Bocek dalam hal ini Pak Anggo Zaenuddin tawar menawar dengan Polres. Bukannya tidak mau memberikan keterangan saksi, tapi meminta Kapolres memproses laporan mereka lebih dulu.
Untuk memperkuat bukti tersebut, pak Anggo bersaman Alinasi Masyarakat Adat Nusantara  melakukan konferensi pers untuk menanggapi surat panggilan tersebut. Akhirnya dimuat dalam Koran Gaung NTB pada hari jum’at Oktober 2013 judul besarnya’ CEK BOCEK DAN AMAN SUMBAWA MINTA KEADILAN HUKUM, yang di dalam isi berita memuat tentang Kapolres Sumbawa minta proses dulu laporan Cek Bocek baru siap memberikan keterangan saksi dan kalau tidak akan dilaporkan ke Kapolda dan Mabes Polri. Jangan hanya laporan pihak Newmont saja yang diproses.
Sehari kemudian penyidik Polres mengontak PD AMAN Sumbawa / meminta keterangan lanjutan kenapa Pak Anggo tidak mau memberikan keterangan. Lalu jawabannya sama proses dulu laporan yang ada. Tidak puas begitu saja, kami minta pada penyidik untuk mengecek laporan arsipnya.
Akhirnya ketemu redaksi yang dikeluarkan oleh Kapolres Sumbawa, AKBP Kurnianto Purwoko pada tahun 2011, seperti yang dilangsir oleh koran lokal, harian umum PILAR NTB ” Tak Digubris, Cek Bocek dan AMAN Pertanyakan Sikap Kapolres”. Menurut isi Koran tersebut Kapolres akan mengundang pihak Cek Bocek sebagai pelapor untuk diminta keterangannya.  Pak Kurnianto Purwoko tidak mengetahui harus menghentikan aktvitas PT.NNT yang dimana. Apakah di base camp Dodo atau camp Lamurung.
Mengingat situasinya tidak bisa dibiarkan begitu saja, AMAN Sumbawa dengan beberapa staf advokasi merespon positif panggilan Polres tehadap Pak Anggo dan sdr Najib. Akhirnya menggelar Rapulung Adat Komunitas Cek Bocek pada hari selasa, 15 oktober 2013 yang dipimpin langsung oleh Ketua PD AMAN Sumbawa. Adapun kesimpulan hasil rapat adalah sebagai berikut;Mendesak Kapolres Sumbawa menghentikan aktvitas PT.NNT di lapangan karena tidak dapat menciptakan rasa kondusifitas masyarakat adat Cek Bocek dan sekitarnya dan masuk tanpa mekanisme yaitu jalur hukum adat atau Rapulung adat Cek Bocek.
  1. Mendesak Kapolres Sumbawa menindak lanjuti laporan Cek Bocek, jangan sampai hanya laporan Newmont saja yang diproses.
  2. Mendesak Kapolres untuk memanggil PT.Newmont untuk ditetapkan sebagai tersangka dan pelanggaran HAM berat  atas pengeboran makam leluhur Komunitas Adat Cek Bocek/.
  3. Mendesak Kapolres Sumbawa agar PT.NNT mentaati UU No 4 tahun 2009 tentang Minerba, pasal 135 tentang adanya persetujuan pemegang hak atas tanah.
  4. Mendesak Kapolres Sumbawa agar mecabut kembali ucapannya, bahwa Keputusan MK 35 hanya berlaku dalam 3 (tiga) komunitas adat saja. ***Jasardi
    http://www.aman.or.id/2013/10/22/komunitas-adat-cek-bocek-dikriminalkan-di-atas-tanah-wilayah-adatnya-sendiri/

Suku Berco Terus Berjuang Dapatkan Legalitas Pemda dan PTNNT

Sumbawa Besar, Gaung NTB
Masyarakat Suku Berco atau komunitas Adat Cek Bocek Ren Suri akan terus memperjuangkan eksistensinya sebagai salah satu komunitas adat yang ada di Pulau Sumbawa. Penegasan ini disampaikan Ari Sanjaya, tokoh muda Desa Lawin Kecamatan Ropang.
Kepada Gaung NTB, Jumat (21/12), Ari menjelaskan, bahwa suku Berco tetap konsisten untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak ulayat serta kedaulatan atas tanah yang sampai saat ini belum diakui oleh Pemda dan PTNNT sebagai pihak menduduki tanah ulayatnya.
Menurut Ari yang juga mahasiswa Unsa tersebut, beberapa upaya yang telah dilakukan selama ini untuk mempertahankan eksistensi dan kedaulatan Suku Berco yakni menggandeng dan bergabung dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) serta menjalin komunikasi dengan Komnas HAM.
Disamping itu sambungnya, menggelar aksi demonstrasi, hearing dengan eksekutif dan legislatif, hingga seminar tentang keberadaan Suku Berco.
“Kami akan terus berjuang hingga mendapat tanggapan positif dari Pemda Sumbawa, LATS dan PTNNT,” tandasnya.
Yang harus diketahui kata Ari, masyarakat Suku Berco merupakan bagian dari masyarakat Sumbawa yang harus dihormati dan dihargai seperti masyarakat lainnya.
Karena itu Ari berharap kepada DPRD, Pemda, LATS dan PTNNT untuk duduk bersama dengan komunitas adat Suku Berco mencari solusi atas permasalahan yang ada, agar keberadaan Suku Berco, benar-benar diakui eksistensinya.(Gac)
http://www.gaungntb.com/2012/12/suku-berco-terus-berjuang-dapatkan-legalitas-pemda-dan-ptnnt/

AMAN Sumbawa: Hutan Adat Bukan Lagi Hutan Negara

Sumbawa Besar, Gaung NTB – Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang dimohonkan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Keputusan MK tersebut menetapkan hutan adat bukan lagi hutan negara.
Dalam keputusan itu disebutkan hutan adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat hukum adat. MK berpendapat hutan negara dan hutan adat harus ada perbedaan perlakukan, sehingga mesti diatur kembali hubungan antara hak menguasa negara dengan hutan negara, dan hak menguasai negara terhadap hutan adat.
“Terhadap hutan Negara ini negara berwenang penuh mengatur peruntukan, pemanfaatan, dan hubungan-hubungan hukum yang terjadi di wilayah hutan negara. Sedangkan terhadap hutan adat, wewenang negara dibatasi sejauh isi wewenang dalam hutan adat. AMAN meminta pemerintah daerah menetapkan Status hutan adat, guna melindungi hak-hak masyarakat adat,” jelas Ketua AMAN Sumbawa, Jasardi Gunawan SIP.
Untuk menentukan hutan adat itu sendiri, ada kriteria yang diperiksa AMAN bersama Kementrian Lingkungan Hidup, Komnas HAM, Badan Pertanahan Negara, dan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. “Untuk hutan adat yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat sendiri, ada penetapan dari AMAN dan negara,” sambungnya.
Jasardi Gunawan menambahkan, keputusan MK tersebut memberi hak kepada masyarakat adat untuk memasang patok ‘ini hutan adat bukan hutan negara’. Masyarakat adat berhak menggunakan keputusan ini guna melindungi hak-haknya. Di kabupaten Sumbawa sendiri, yang termasuk masyarakat adat yakni Cek Bocek dan Pekasa. “Moratorium hutan sangat penting sehingga izin-izin tambang yang berada di wilayah masyarakat adat untuk ditinjau kembali oleh pemberi ijin tambang, baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah provinsi, maupun ke pihak kehutanan,” tegasnya.
Untuk mengetahui masyarakat mana saja yang termasuk masyarakat adat, AMAN Sumbawa bersedia memberikan data. AMAN Sumbawa juga akan mensosialisasikan keputusan MK tersebut di Kabupaten Sumbawa. “Dalam waktu dekat, keputusan MK tersebut akan disosialisasikan ke Bupati, DPRD, Dinas Kehutanan, Pengadilan, Kejaksaan, BPN, Kepolisian dan lainnya, yang berada di Kabupaten Sumbawa,” pungkas Jasardi Gunawan.
http://www.gaungntb.com/2013/05/aman-sumbawa-hutan-adat-bukan-lagi-hutan-negara/

Cek Bocek Siap Dialog Keputusan MK tentang Hutan Adat

Sumbawa Besar, Gaung NTB – Laporan PT NNT kepada pihak kepolisian terkait ‘pendudukan’ basecamp eksplorasi Blok Elang ditanggapi serius komunitas adat Cek Bocek Selesek Reen Suri. Cek Bocek malah mempertanyakan pemahaman manajemen PTNNT dan pemda Sumbawa terhadap Keputusan MK tentang Hutan Adat.
Terhadap pemahaman Newmont maupun Pemda, Najib—yang mengaku perwakilan Cek Bocek ini, akan mengajukan laporan ke MK. “Sikap PTNNT dan Pemda sama dengan mengabaikan keputusan MK,” ucap Najib via telepon seluler, Senin (16/9).
Cek Bocek menilai PTNNT telah melanggar hukum adat dan tidak mengedepankan konsep Free Prior Informed Consent (FPIC) ataupun memahami mekanisme Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat adat. “Newmont jelas perusahaan internasional yang sudah mengerti dengan konsep FPIC itu,” sambung Najib.
Najib menerangkan bahwa tindakan Cek Bocek bukanlah aksi melainkan menjalankan tugas rapulung adat. Pemasangan plang atau patok berdasarkan hasil uji materi UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diputuskan Mahkamah Konstitusi. Salah satu keputusan dari MK adalah pasal 1 angka 6, bahwa hutan adat tidak lagi hutan Negara, melainkan hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Di kesempatan terpisah, AMAN Sumbawa mempertanyakan sejauhmana pihak kepolisian memahami keputusan MK tersebut. Apabila keputusan tersebut belum kuat, maka AMAN akan kembalikan posisinya ke MK sebagai pihak yang mengeluarkan keputusan, agar mengadakan persidangan lagi karena publik masih meragukan keputusan yang dikeluarkan MK, dan keputusan tersebut hanya berlaku di beberapa komunitas saja (khususnya yang termuat dalam keputusan).
“Kami dari AMAN Sumbawa sudah siap mengagendakan untuk membangun tukar informasi dan saling memberi pemahaman terhadap keputusan MK di perbagai leading sector yang ada di Sumbawa. Perlu ada pertemuan dengan kepolisian memaknai bersama keputusan MK tersebut bahwa, keputusan MK bukan hanya untuk komunitas yang termuat dalam keputusan saja, melainkan seluruh komunitas adat baik yang tergabung di AMAN maupun yang belum menjadi anggota AMAN. “Keputusan MK berlaku umum bagi setiap anggota AMAN, kebetulan salah satu anggota AMAN di Sumbawa adalah Cek Bocek,” ucap Ketua PD AMAN Sumbawa, Jasardi Gunawan.
Terkait dibaikannya keputusan MK tersebut, PD AMAN Sumbawa hingga pusat, serta jaringan masyarakat adat akan merespon laporan PTNNT kalau memang harus bersidang. “Cek Bocek siap bersidang dan AMAN pun siap mendampingi.
Setahun lalu, Cek Bocek dan AMAN sudah melaporkan ke Polres Sumbawa untuk menghentikan aktivitas PTNNT di lapangan selama belum ada kesepakatan dengan Cek Bocek. Kalau dibiarkan terus, kuburan leluhur akan habis tereksploitasi. Tetapi laporan itu tidak digubris Polres Sumbawa,” akunya. Justru Komnas HAM RI menanggapi serius laporan itu dengan memberikan rekomendasi kepada Gubernur NTB, yang kemudian terbentuknya Tim Terpadu terhadap penyelesaian konflik tersebut. “Tim ini belum bekerja karena terbentur anggaran, semoga dengan pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur NTB kemarin, tim terpadu dapat segera menjalankan tugasnya,” imbuhnya.
AMAN Sumbawa berpendapat sebenarnya tidak ada yang perlu diperdebatkan, jika Pemda memberikan respon cepat terkait persoalan ini. Demikian juga dengan PTNNT diharapkan mampu memberikan penjelasan di tengah masyarakat adat terkait rencana ke depan.
http://www.gaungntb.com/2013/09/cek-bocek-siap-dialog-keputusan-mk-tentang-hutan-adat/

Ikuti Saran Kapolres, Cek Bocek Tahan Diri

Sumbawa Besar, Gaung NTB – Meski sudah ada laporan resmi dari PTNNT terkait dugaan tindak pidana pengrusakan yang dilakukan Komunitas Adat Cek Bocek Selesek dan ditindaklanjuti dengan dibentuknya Tim Penyidik oleh jajaran kepolisian, namun upaya persuasive tetap dikedepankan. Hal ini diungkapkan Kapolres Sumbawa, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Karsiman SIK MM, terkait pengembangan kasus yang ditangani pihaknya.
Kepada Gaung NTB Kapolres mengaku sudah turun langsung ke Lantung dan Ropang bertemu dengan tokoh masyarakat setempat. Dalam pertemuan itu, Kapolres menitipkan pesan untuk masyarakat Cek Bocek agar tidak melakukan tindakan yang merugikan masyarakat dan kelompok itu sendiri. Dari laporan kapolsek belum lama ini, pesan itu direspon komunitas tersebut yang berjanji untuk menahan diri dengan tidak melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum. Rencananya pentolan Cek Bocek akan bertemu dengan Pemda selaku pemberi ijin PTNNT untuk melakukan kegiatannya, termasuk mendapatkan klarifikasi soal putusan MK terkait tanah adat.
Seperti diberitakan Gaung NTB, PTNNT telah melaporkan secara resmi aksi Komunitas Adat Cek Bocek Desa Lawin Kecamatan Ropang yang ‘menduduki’ Base Camp Eksplorasi Blok Elang, kepada pihak kepolisian belum lama ini. Laporan tersebut juga karena ada kekhawatiran dari perusahaan tambang itu terhadap ancaman dari komunitas pimpinan Datuk Sukanda ini akan membakar dan merusak basecamp.
Sebelumnya puluhan massa yang tergabung dalam Komunitas Cek Bocek masuk ke lokasi basecamp eksplorasi di Blok Elang dengan cara memotong pagar kawat. Aksi ini dilakukan karena massa ingin memasang patok petunjuk pemilikan hutan adat tepat di landasan heliped dan pusat kegiatan ekplorasi. Namun aksi ini berhasil dicegah aparat kepolisian yang kemudian menghalau massa keluar dari di lokasi itu. Esoknya, Komunitas Cek Bocek memasang patok di empat lokasi. Setiap papan patok tertulis “Hutan Milik Komunitas Cek Bocek (Suku Berco) Bukan Hutan Negara. Putusan MK No. 35/PUU-X/2012”. http://www.gaungntb.com/2013/09/ikuti-saran-kapolres-cek-bocek-tahan-diri/

Terkait Cek Bocek, Pemda Minta Komnas HAM Tidak Sepihak

Sumbawa, PSnews – Kehadiran Komnas HAM di Sumbawa untuk menginvestigasi keberadaan komunitas adat cek bocek, sejak Rabu lalu, dianggap sudah menjadi kewenangannya oleh Pemda Sumbawa. Pemda Sumbawa tidak bisa mengintervensinya. Tapi ditekankan, dalam proses investigasi tersebut, agar tidak sepihak melainkan mendengarkan masukan berbagai stakeholder.
Kabag Humas dan protokol Setda Sumbawa, Wirawan, Jum’at (9/11), menyatakan, sikap Pemda sejak awal tidak berubah terhadap keberadaan Komunitas Cek Bocek yang mengklaim berhak atas ulayat di hutan Dodo Kecamatan Ropang yang tengah dieksplorasi PTNNT.
“Sikap Pemda selaras dengan sikap Kesultanan Sumbawa, bahwa satu-satunya institusi adat yang ada sejak dahulu adalah Kesultanan Sumbawa yang mempunyai sejarah,” tegas Wirawan.
Kendati demikian, menurutnya Pemda tidak mempermasalahkan kunjungan dan proses investigasi oleh Komnas HAM. (PSb)

KOMNAS HAM REKOMENDASIKAN PEMBENTUKAN TIM PENYELESAIAN CEK BOCEK

Mataram, 9/11 (ANTARA) - Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) merekomendasikan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk membentuk tim terpadu penyelesaian polemik adat Cek bocek Selesek Reen Sury atau Suku Berco, di Kabupaten Sumbawa.
     "Dalam pertemuan tadi, kami rekomendasikan perlu adanya tim terpadu penyelesaian masalah adat Cek bocek itu. Tim itu yang akan mengkaji atau meneliti riwayat masyarakat yang mengklaim sebagai masyarakat adat Cek bocek itu," kata Penyelidik Senior Komnas HAM Husendro SH MH, usai pertemuan koordinasi di Kantor Gubernur NTB, di Mataram, Jumat.
     Pertemuan koordinasi itu digelar atas permintaan Komnas HAM, guna menindaklanjuti pertemuan multipihak pada 25 Juli 2012 di Kantor Komnas HAM, terkait penanganan pengaduan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang bertindak atas nama masyarakat adat Cek bocek.
     Versi AMAN, komunitas adat Cek bocek Selesek Reen Sury atau Suku Berco, yang menyebar di tiga desa di wilayah Kabupaten Sumbawa.
     Ketiga desa itu yakni Desa Lawin dan Labangkar yang berada di wilayah Kecamatan Ropang, dan Desa Ai Ketapang yang berada di wilayah Kecamatan Lunyuk.
     Komunitas adat di Desa Lawin mencapai 400 kepala keluarga (KK), di Desa Labangkar sekitar 500 KK dan komunitas adat di Desa Lunyuk sekitar 600 KK.
     Komunitas adat Cek bocek Suku Berco di Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa, NTB, merupakan penduduk Sumbawa bagian selatan yang paling tua.
     Kawasan vegetasi hutan ini tidak mengalami gangguan meskipun sudah ratusan tahun berdampingan dengan pemukiman komunitas.
     Wilayah komunitas adat Selesek Reen Sury atau Suku Berco itu mencapai 25 ribu hektare, dan sekitar 17 ribu hektare diantaranya termasuk dalam wilayah pertambangan PTNNT di wilayah Kabupaten Sumbawa yang kini sudah memasuki tahapan eksplorasi. 
     Komunitas adat Suku Berco terus berupaya mempertahankan tanah ulayat itu dari penguasaan perusahaan asing yang melakukan usaha pertambangan, meskipun Pemerintah Kabupaten Sumbawa belum mengakui keberadaan masyarakat adat beserta tanah ulayatnya itu.
     Upaya tersebut untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan ekosistem, juga untuk sumber kehidupan sehari-hari dari hasil berburu, mencari madu dan membuat gula aren (jalit).
     Pertambangan skala besar di wilayah adat Cek Bocek yang merupakan bagian dari wilayah pertambangan PTNNT di Blok Elang Dodo itu, dinilai akan mengancam keseimbangan lingkungan, ekosistem dan sosial-budaya. 
     AMAN menyebut hal itu berpotensi menimbulkan konflik horizontal karena mencuat indikasi masyarakat yang ingin bekerja di Newmont hendak melakukan perlawanan terhadap masyarakat yang adat Cek bocek itu.
     Husendro mengatakan, pihaknya sudah menggali informasi lebih lanjut di lokasi dan menemukan adanya perbedaan pemahaman terhadap keberadaan masyarakat adat Cek bocek itu, termasuk status wilayah, dan historis keadatan beserta kebudaaannya.
     "Status keadatan dan pendapat masyarakat di sana beda-beda, sebagian masyarakat menyatakan tidak, sebagian ya terhadap keberadaan Cek bocek itu, sehingga perlu dilakukan kajian secara terpadu karena hal itu yang paling mendasar," ujarnya.
     Karena itu, kami merekomendasikan pembentukan tim terpadu penyelesaian masalah tersebut, terutama dari aspek riwayat adat, untuk memperjelas apakah memang ada masyarakat adat di sana.
     Tim terpadu itu pun harus melibatkan semua pihak terkait, termasuk tokoh agama, tokoh pemuda, pegiat AMAN, dan masyarakat yang mengklaim kelompok adat Cek bocek itu sendiri.
     "Tadi, Pak Asisten I Setda NTB (Ridwan Hidayat) di depan sejumlah kepala dinas seperti dinas kehutanan, pertambangan, karo hukum dan pejabat lainnya, setuju dan akan segera membuat surat perintah tugas, dan kerangka acuan untuk tim itu bekerja," ujarnya.
     Komnas HAM, tambah HUsendro, juga akan terlibat aktif dalam pengkajian terpadu itu, namun tetap akan bersikap netral dalam menyikapi berbagai aspirasi. (*)

KOMNAS HAM MINTA NEWMONT SIKAPI PERMASALAHAN ADAT CEK BOCEK

Mataram, 9/11 (ANTARA) - Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) meminta manajemen PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) menyikapi permasalahan adat Cek bocek Selesek Reen Sury atau Suku Berco, yang berada di wilayah tambang di Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
     "Kami minta Newmont ikut terlibat, terutama dalam hal pemberdayaan warga Cek bocek di sana (Sumbawa)," kata Penyelidik Senior Komnas HAM Husendro SH MH, usai pertemuan koordinasi di Kantor Gubernur NTB, di Mataram, Jumat.
     Pertemuan koordinasi itu digelar atas permintaan Komnas HAM, guna menindaklanjuti pertemuan multipihak pada 25 Juli 2012 di Kantor Komnas HAM, terkait penanganan pengaduan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang bertindak atas nama masyarakat adat Cek bocek.
     Versi AMAN, komunitas adat Cek bocek Selesek Reen Sury atau Suku Berco, yang menyebar di tiga desa di wilayah Kabupaten Sumbawa.
     Ketiga desa itu yakni Desa Lawin dan Labangkar yang berada di wilayah Kecamatan Ropang, dan Desa Ai Ketapang yang berada di wilayah Kecamatan Lunyuk.
     Komunitas adat di Desa Lawin mencapai 400 kepala keluarga (KK), di Desa Labangkar sekitar 500 KK dan komunitas adat di Desa Lunyuk sekitar 600 KK.
     Komunitas adat Cek bocek Suku Berco di Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa, NTB, merupakan penduduk Sumbawa bagian selatan yang paling tua.
     Kawasan vegetasi hutan ini tidak mengalami gangguan meskipun sudah ratusan tahun berdampingan dengan pemukiman komunitas.
     Wilayah komunitas adat Selesek Reen Sury atau Suku Berco itu mencapai 25 ribu hektare, dan sekitar 17 ribu hektare diantaranya termasuk dalam wilayah pertambangan PTNNT di wilayah Kabupaten Sumbawa yang kini sudah memasuki tahapan eksplorasi. 
     Komunitas adat Suku Berco terus berupaya mempertahankan tanah ulayat itu dari penguasaan perusahaan asing yang melakukan usaha pertambangan, meskipun Pemerintah Kabupaten Sumbawa belum mengakui keberadaan masyarakat adat beserta tanah ulayatnya itu.
     Upaya tersebut untuk menjaga keseimbangan lingkungan dan ekosistem, juga untuk sumber kehidupan sehari-hari dari hasil berburu, mencari madu dan membuat gula aren (jalit).
     Pertambangan sekala besar di wilayah adat Cek Bocek yang merupakan bagian dari wilayah pertambangan PTNNT di Blok Elang Dodo itu, dinilai akan mengancam keseimbangan lingkungan, ekosistem dan sosial-budaya. 
     Husendro mengatakan, karena wilayah adat Cek bocek itu berada dalam wilayah pertambangan PTNNT, maka perusahaan asing itu berkewajiban memberikan bantuan pemberdayaan.
     "Intinya, bagaimana Newmont berkontribusi terhadap sumber daya masyarakat, terlepas dari polemik status adat Cek bocek yang akan diperjelas oleh tim terpadu yang difasilitasi Pemprov NTB sebagaimana disepakati dalam rapat koordinasi tadi," ujarnya. (*)

Penelitian UI Soal Masyarakat Adat di Newmont Dipertanyakan


TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyayangkan keterlibatan laboratorium Sosiologi UI dalam penelitian tentang keberadaan masyarakat adat 'Cek Bocek Selesek Rensury' terkait konflik yang terjadi antara PT. Newmont dengan masyarakat adat 'Cek Bocek Selesek Rensury'.
Menurut AMAN, untuk mendapatkan legitimasi atas penguasaan kawasan di wilayah adat Cek Bocek Selesek Rensury, PT. NNT berupaya untuk mendapatkan legitimasi akademis untuk menolak keberadaan masyarakat adat 'Cek Bocek Selesek Rensury' dengan melibatkan Universitas Indonesia, melalui Laboratorium Sosiologi UI untuk melakukan penelitian tentang keberadaan masyarakat adat 'Cek Bocek Selesek Rensury'.
Direktur Hukum dan HAM AMAN, Erasmus Cahyadi menuturkan bahwa pada saat mediasi yang diinisiasi Komnas HAM Rabu lalu, laboratorium Sosiologi FISIP UI memaparkan temuan awal penelitian, yang memojokan dan mempertanyakan keberadaan masyarakat adat 'Cek Bocek Selesek Rensury'.
"Meskipun demikian, utusan-utusan dari Masyarakat Adat Cek Bocek Selesek Rensury dapat melakukan bantahan dengan pembuktian yang justru memperkuat keberadaan mereka," tutur Erasmus dalam keterangan persnya, Kamis(26/7/2012).
Sehubungan dengan hal tersebut, AMAN menyayangkan bahwa UI, khususnya laboratorium Sosiologi FISIP UI menyajikan hasil penelitian yang mentah dan secara metodologis dipertanyakan dan secara etis tidak dapat dipertanggungjawabkan karena penelitian tersebut dibiayai oleh PT. NNT.
Sementara itu, Mina Setra, Deputi II advokasi hukum dan politik AMAN, dalam konferensi pers di di Sekber PHRI (Pemulihan Hak Rakyat Indonesia) d/a Kantor Eksekutif Nasional WALHI, Kamis (26/7/2012), mengatakan pihaknya sesungguhnya berharap ada pembicaraan lebih luas dari hasil penelitian Lab. Sosio UI tersebut, tetapi pertemuan tersebut justru membahas hasil penelitian UI yang ia nilai sudah didesign untuk mengignore masyarakat adat.
"Sang peneliti UI itu seperti jubir newmont saja, dan ia secara terang-terangan mengaku memang penelitiannya didanai newmont," tukas Mina Setra.
Mina Setra juga mendesak agar pihak laboratorium Sosiologi UI untuk segera mempublish hasil penelitian mereka agar pihaknya bisa menyanggah hasil penelitian akademis tersebut secara akademis juga. Hal ini penting, lanjutnya, karena kabarnya hasil penelitian tersebut akan dijadikan landasan dalam kasus ini.
"Kami sangat menyayangkan, UI menyajikan hasil penelitian yang mentah secara metodologis, dan secara etis dan moral juga tidak bisa diterima karena didanai oleh perusahaan yang anti masyarakat," pungkasnya.
http://www.tribunnews.com/2012/07/26/penelitian-ui-soal-masyarakat-adat-di-newmont-dipertanyakan 

Suku Berco Tak Izinkan Newmont Perluas Konsesi

KBR68H, Jakarta - Perusahaan tambang PT Newmont Nusa Tenggara tidak mengantongi izin dari masyarakat adat Suku Berco dalam memperluas konsesi atau izin membuka tambangnya.
Ini lantaran perusahaan itu meragukan keasilan Suku Berco sebagai suku asli di Nusa Tenggara Barat. Direktur Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Erasmus Cahyadi mengatakan, keraguan itu diperkuat dengan hasil penelitian Universitas Indonesia. Namun ia menilai, penelitian itu diragukan independensinya, sebab dibiayai oleh PT Newmont.

"Penelitian mereka itu sebenarnya tidak bisa dijadikan satu kesimpulan. Tapi bagi PT Newmon itu kan dianggap sebagai basis legitimasi akademik ketika dia mengambil kebijakan. Lalu penelitian itu juga akan dipakai oleh daerah. Jadi sedikit banyak penelitian itu meng-ignor keberadaan masyarakat cek bocek."

Erasmus Cahyadi mengklaim keberadaan Suku Berco ada di Sumbawa sejak abad ke-16. Mereka turun temurun hidup di atas tanah di kawasan Ropang, Sumbawa Selatan. Sebelumnya Masyarakat Adat Suku Berco menolak perluasan konsesi tambang mineral PT Newmon Nusa Tenggara di Sumbawa. Menurut merekan, hal ini akan merampas tanah mereka. Namun perluasan konsesi itu disetujui Pemda NTB 2010 lalu. Sekarang Suku Berco meminta Newmont meminta izin kepada masyarakat adat setempat. Namun Newmont menolak.

Komnas HAM Teliti Kasus Sengketa Newmont dan Suku Berco

KBR68H, Jakarta - Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) akan membentuk tim peneliti independen kasus Newmont.
Tim ini untuk menyelesaikan konflik lahan antara Suku Berco dan perusahaan tambang mineral PT Newmont di NTB. Anggota Komnas HAM Jhony Nelson Simanjuntak mengatakan, penelitian itu untuk membuktikan Suku Berco adalah penduduk asli Sumbawa Selatan. Sehingga dengan begitu, PT Newmont wajib meminta izin Suku Berco dalam memperluas konsesi tambangnya. Sebab kata dia, konsesi itu menggerus lahan yang menjadi tempat tinggal mereka. Selain karena dianggap merusak lingkungan.

"Kita masih mau mendengar bagaimana suara pemerintah kabupaten, kalau pemerintah provinsi dan kabupaten sudah menetapkan itu adalah Suku Berco bukan suku atau masyarakat adat NTB, kita mendengar apa alasannya? Kan harus diuji secara normatif dan teoritis. (Selama ini sudah ada berapa kali pertemuan?) Selama ini baru sekali dengan ketemu langsung. Dan pertemuan dengan Newmont dan Suku Berco, ini yang kedua."

Jhony Nelson menambahkan, Komnas HAM juga bakal memanggil Gubernur NTB untuk berdialog. Sebab selama ini pemerintah setempat tidak pernah ikut berunding. Suku Berco dituding bukan suku asli di NTB. Hal itu berdasarkan hasil kesimpulan peneliti yang dibayar PT Newmont lewat Universitas Indonesia. Dengan begitu, PT Newmont tidak perlu meminta izin Suku Berco untuk memperpanjang peroyek pertambangan mineral serta memperluas konsesi 2010 lalu.
http://www.iyaa.com/berita/nasional/umum/1643694_1124.html

Kehadiran Newmont Sulitkan Masyarakat Adat Cek Bocek

"Aman menyayangkan, dari Pusat Kajian Sosiologi Universitas Indonesia, bertindak seakan menjadi jubir Newmont."

Oleh Sapariah Saturi,  August 6, 2012 7:01 pm
KONFLIK antara masyarakat adat  Cek Bocek Selesek Rensury Suku Berco dengan PT Newmont Nusa Tenggara (Newmont) belum usai. Mediasi oleh Komnas HAM 25 Juli 2012,  tak membuahkan hasil. Masyarakat adat merasa keberadaan perusahaan ini menyulitkan mereka secara ekonomi, budaya bahkan terjadi intimidasi.
Erasmus Cahyadi, Direktur Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat  Nusantara (Aman), mengatakan,  pertemuan ini terkait perampasan wilayah adat oleh PT Newmont didukung kekuatan legalitas dari negara melalui perizinan. “Namun, tidak pernah mendapatkan persetujuan dari masyarakat adat Cek Bocek Selesek Rensury,” katanya, akhir Juli 2012.
Rabu (25/7/12), diselenggarakan pertemuan antara PT. Newmont dengan masyarakat adat Cek Bocek Selesek Rensury suku Berco dimediasi Komnas HAM.  Pertemuan dihadiri perwakilan Pemerintah Nusa Tenggara Barat (NTB), Aman dan Pusat Kajian Sosiologi Fisip Univeritas Indonesia (UI) .
Menurut Erasmus, persetujuan masyarakat adat,  prasyarat mutlak bagi investasi apapun yang masuk wilayah adat. Sebab, ini tak hanya berkaitan dengan kedaulatan mereka atas wilayah adat, tetapi kehadiran investasi sangat berpengaruh pada perubahan sosial, ekonomi dan budaya.
Erasmus mengatakan, guna mendapatkan penguasaan kawasan di wilayah adat Cek Bocek Selesek Rensury, PT. Newmont berupaya lewat legitimasi akademis. Perusahaan melibatkan UI melalui Laboratorium Sosiologi (Lab Sosio) untuk meneliti keberadaan masyarakat adat ini.
Dalam pertemuan ini Lab Sosiologi UI memaparkan temuan awal penelitian. Temuan memojokkan dan mempertanyakan keberadaan masyarakat adat  ini. “Utusan-utusan dari masyarakat adat Cek Bocek Selesek Rensury bisa membantah dengan pembuktian yang justru memperkuat keberadaan mereka.” Populasi masyarakat adat ini mencapai 1.000 jiwa.
Aman menyayangkan, UI, khusus Lab Sosio Fisip, menyajikan hasil penelitian mentah. “Secara metodologis dipertanyakan, secara etis tak dapat dipertanggungjawabkan karena penelitian dibiayai PT. Newmont,” kata Erasmus.

Cek Bocek Kembali Akan Duduki Camp PTNNT di Dodo Rabu ini

Sumbawa, Sumbawanews.com. – Komunitas adat Cek Bocek Selesek Reen Sury (Suku Berco), kembali berencana akan menduduki Camp PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) di Blok Elang Dodo, Kecamatan Ropang dengan agenda ritual adat ‘mohon kerik selamat’ yang akan dilaksanakan pada Rabu (10/10) pagi ini.
Dalam siaran persnya, Bidang Advokasi Hukum dan HAM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Daerah Sumbawa (AMANDA Sumbawa) , Febriyan Anindita menjelaskan pada Senin (8/10) lalu, sekitar pukul 20.00 wita, masyarakat adat cek bocek menggelar rapulung adat (Musyawarah adat)  yang dipimpin pimpinan adat, Datu Sukanda RHD, membahas rencana akan dilaksanakannya ritual adat ‘mohon kerik selamat’. Ritual ini merupakan permohonan masyarakat kepada Allah SWT untuk dihindarkan dari berbagai macam bala bencana. 
 
Menurut Ferbian Anandita warga adat merasakan dalam dua tahun terakhir mengalami gagal panen akibat telatnya musim hujan di atas wilayah adat mereka. Sehingga disepakati untuk menggelar ritual adat di wilayah Dodo sekaligus menyampaikan kekecewaan dan aspirasi terhadap aktifitas eksplorasi PTNNT di wilayah yang dianggap Cek Bocek sebagai salah satu penyebab terlambatnya masa tanam di atas lahan pertanian. Hal itu dianggap sangat bersifat signifikan terhadap kehidupan dan perekonomian mereka.
 
Dijelaskannya Datuk Sukanda menyatakan, bahwa masyarakat adat Cek Bocek menganggap perusahaan tambang emas PTNNT telah masuk ke wilayah adat tanpa kompromi melalui proses jalur adat (Rapulung). Cek Bocek menilai PTNNT tanpa kompromi dengan masyarakat adat sebelum menggunakan hak ulayat. Meski masih dalam tahap ekplorasi dan pengeboran beberapa titik serta membangun basecamp, hukum adat tidak membenarkan aktivitas apapun sebelum ada persetujuan adat.
 
“Sehingga masyarakat adat meminta pada para pekerja dan aparat kepolisian (Brimob) di wilayah yang sedang dieksplorasi untuk menghentikan akgtifitas eksplorasinya sebelum ada Rapulung dengan Masyarakat Adat,” ungkap Suganda. (sn01

Aman Kutuk Pelaku Pembakar Rumah Adat Komunitas Cek Bocek

Sumbawa Besar, Sumbawanews.com.- Rumah adat komunitas Cek Bocek terbakar sekitar pukul 21.30 wita,Kamis (18/10/2012), penyebab terbakarnya rumah adat komunitas tersebut, dipastikan karena ulah manusia, akan tetapi belum diketahui siapa pelakunya. Hal tersebut dikatakan Ketua Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD Aman) Kabupaten Sumbawa, Jazardi Gunawan, SH, kepada Sumbawanews.com, Jumat (19/10/2012).

“Saya langsung tersentak saat mendengar khabar tersebut,” ujar Jazardi Gunawan.

Jazardi menduga, pembakaran terhadap rumah adat komunitas Cek Bocek, erat kaitannya dengan permasalahan yang terjadi antara Cek Bocek dengan PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT), melihat kondisi yang terjadi antara Cek Bocek dengan PTNNT saat ini.

“Tidak mungkin Pemerintah yang membakarnya, dan tidak mungkin juga masyarakat biasa yang membakarnya, sebab itulah kuat dugaan kami kalau yang membakarnya merupakan orang suruhan PTNNT,” tukas Jazardi Gunawan.

Disinggungnya, Kejadian yang membuat masyarakat adat Cek Bocek geram tersebut, akan dilaporkan ke Polisi, dan Aman sendiri mempercayakan polisi untuk menjerat pelaku pembakaran, karena telah melanggar hukum dan aturan yang berlaku.

“Kami dari Aman mengutuk keras oknum yang telah melakukan pembakaran terhadap identitas komunitas adat Cek Bocek,” ujarnya.

Sementara itu, Dato Sukanda, Kepala Suku komunitas adat Cek Bocek, saat dikonfirmasi menyatakan, tidak satupun barang- barang yang ada dalam rumah adat terselamatkan, mulai dari beberapa data penting, barang pusaka, serta alat ritual.

“Kami ingin pelaku pembakaran rumah adat kami dihukum dengan seberat- beratnya, kami tidak mau bertindak sendiri, sebab kami percaya dengan hukum di Negara ini,” tutu Dato Sukanda. (Ismu)
http://www.sumbawanews.com/berita/aman-kutuk-pelaku-pembakar-rumah-adat-komunitas-cek-bocek 

Ketua PD AMAN Sumbawa Disandera Massa Pro Newmont


Sumbawa Besar, Gaung NTB
Aksi demo yang dilancarkan seratusan massa pro Newmont yang menamakan diri Aliansi Masyarakat Lingkar Selatan (AMLS) di gedung DPRD Sumbawa, Senin (9/1), mengungkap fakta perpecahan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dengan komunitas adat Cek Bocek Selesek Reen Suri.
Koordinator massa menunjukkan surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai 6000 oleh Ketua Adat Cek Bocek, Anggo Zainuddin. Dalam pernyataan itu tertulis bahwa seluruh pernyataan dan upaya yang dilakukan oleh Cek Bocek selama ini adalah atas provokasi dari AMAN. Cek Bocek menolak keberadaan AMAN dan siap menerima dan bekerjasama dengan PTNNT untuk menyukseskan kegiatan eksplorasi.
Pernyataan yang dibacakan pendemo dengan pengeras suara itu, ditanggapi Ketua PD AMAN Sumbawa, Jasardi Gunawan S.IP.
Kepada Gaung NTB kemarin, Ia menyatakan pernyataan yang ditandatangani oleh Anggo Zainuddin sarat dengan pelanggaran.
Anggo di dalam surat itu dinyatakan sebagai Ketua Cek Bocek yang bertindak sebagai ketua adat adalah Datuk Suganda RHD. Penandatanganan yang dilakukan Anggo juga dilakukan di bawah tekanan setelah terjaring aksi sweeping oleh massa pro tambang di wilayah Lantung, Minggu (7/1) sore.
Saat itu cerita Jasardi yang memperoleh informasi dari Datuk Suganda, bahwa Anggo yang menjabat sebagai Ketua Dewan AMAN Sumbawa dalam perjalanan pulang ke Desa Lawin. Memasuki wilayah Lantung, dicegat oleh massa dan sempat ditahan selama dua jam. Anggo dilepas setelah menandatangani surat pernyataan yang selanjutnya dijadikan alat oleh massa pro Newmont untuk dibacakan saat menggelar aksi demo di Kantor DPRD, Senin (9/1). “Keadaan Anggo sangat terancam dan tidak mungkin menolak permintaan petugas sweeping karena pertimbangan keselamatan,” katanya.
Jasardi membantah dengan tegas isi pernyataan itu yang mengatakan perjuangan komunitas Cek Bocek atas provokasi AMAN. Yang sebenarnya adalah Cek Bocek datang kepada AMAN meminta bantuan untuk difasilitasi agar keinginannya mendapat respon dari pemerintah. “Perjuangan untuk mendapat haknya sudah dilakukan Cek Bocek sendiri sebelum AMAN terbentuk,” katanya.
Disinggung tentang tuntutan agar AMAN Sumbawa dibubarkan, Jasardi geli mendengarnya. “Kami perpanjangan tangan PW AMAN pusat yang organisasinya diakui dunia internasional,” jelasnya

http://gaungntb.com/2012/01/ketua-pd-aman-sumbawa-disandera-massa-pro-newmont/

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | coupon codes