Sumbawa Besar, Gaung NTB
Sengketa tanah antara rakyat dan penguasa sehingga berimbas pada kelangsungan investasi menjadi fenomena saat ini. Namun sebenarnya hal itu sudah terjadi sejak jaman kerajaan dan penjajahan kolonial Belanda.
Direktur Pusat Study Hukum dan HAM (Pusham) Universitas Samawa (UNSA), Lahmuddin Zuhri SH. M.Hum mengakui hal itu.
Kepada Gaung NTB belum lama ini, Lahmuddin menyatakan bahwa jaman penjajahan maupun kerajaan saat itu tanah rakyat selalu dijadikan komoditi. Pada masa sekarang, colonial itu tetap ada namun berwajah ganda, bisa dari kesultanan, perusahaan dan penguasa (penentu kebijakan). “Kecenderungan mereka menjadi colonial karena sistem hukum yang tidak berpihak kepada rakyat,” katanya.
Hal ini dapat dilihat dari UU Agraria, bahwa negara akan mengakui tanah adat, tanah rakyat, dengan cacatan sesuai dengan kepentingan negara dan kepentingan bersama. Kepentingan negara ini perlu digarisbawahi apakah kepentingan penguasa negara atau kepentingan rakyat. Jika kepentingan negara adalah kepentingan rakyat maka seluruh kebijakan negara dari Presiden hingga tingkat RT harus memperhatikan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Ia mencontohkan kasus Sape Bima, apakah Bupati Bima telah memperhatikan kebutuhan aspirasi masyarakat terutama dalam mengeluarkan surat ijinpertambangan. Apabila memperhatikan hal itu, tentunya sebelum ijin diterbitkan ada penggalian informasi dan data dari masyarakat, termasuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat terhadap keberadaan pertambangan, apakah mereka rela lahannya ditambang. “Inilah yang harus digali sebelum ijin diterbitkan sehingga kebijakan yang diambil Bupati tidak menimbulkan persoalan seperti yang sudah terjadi hingga menewaskan sedikitnya tiga warga Lambu.
Menurut Lahmuddin, penguasa cenderung menjadi penjajah, tanpa menjaring aspirasi dan meminta saran pendapat rakyat langsung melakukan eksekusi. Sebab penguasa beranggapan bahwa mereka terpilih secara langsung secara otomatis mendapat mandat penuh dari masyarakat untuk melakukan hal sesuka hatinya. Padahal mandat yang diberikan rakyat untuk mengelola dan mengatur alur system yang ada. “Siapa yang buat alur system ini, yah masyarakat melalui wakilnya di DPRD sebagai wadah representasi masyarakat,” ujarnya.
Namun lagi-lagi wakil rakyat di DPRD cenderung menjadi bagian representasi dari partai politik, sehingga apapun yang berhubungan dengan aspirasi masyarakat terabaikan, karena secara umum mereka tunduk kepada kepentingan partai dan pemilik modal.
Lahmudin khawatir kasus di Bima memungkinkan terjadi di Sumbawa, karena disinyalir setiap perusahaan yang masuk ke daerah yang diuntungkan adalah elit-elit penguasa, sedangkan rakyat hanya mendapat ampas dari sisa-sisa pertambangan.
Potensi konflik mulai muncul karena sampai saat ini Suku Adat Cek Bocek Selesek belum memiliki persepsi yang sama dengan pemerintah daerah, dan sebaliknya pemerintah belum memperhatikan aspirasi suku adat yang bermukim di Desa Lawin Kecamatan Ropang. “Keberadaan suku adat ini dipandang sebelah mata oleh Bupati Sumbawa bahkan tidak mengakui keberadaannya,” timpal Lahmudin.
Padahal dari sebelum adanya Negara Indonesia, secara historis dan teoritis Cek Bocek dan Elang Dodo Rinti sudah ada.
Untuk itu Lahmuddin mengingatkan pemerintah untuk tidak menggunakan legitimasi yuridis http://gaungntb.com/2012/01/konflik-tanah-pertambangan-jadi-fenomena/
0 komentar:
Posting Komentar