Di bawah kepemimpinan adat datu Sukanda yang lintas desa ini memiliki sejarah perjuangan hidup yang tidak pernah putus dalam memperjuangkan nasibnya bersama anggota komunitas, meski mereka telah pindah dari tanah asal yang semula ditempati bertahun-tahun lamanya karena berpindah disekitar dekat pada posisi hutan lamanya dengan alasan berladang. yang lama-kelamaan sebagian hutan hunian lamanya tersebut meng-hutan, sejak saat itu hingga tahun 1980-an masyarakat tetap memiliki ikatan kuat dengan wilayah tersebut dimana mereka tetap melakukan aktifitas Ekonomi, sosial dan budaya. Secara berkesinambungan mereka masih memelihara dan memanfaatkan kebun-kebun mereka, melakukan Bejalit (membuat Gula Aren) di hutan tersebut,mengambil kemiri,rotan umbi bumbu,menangkap ikan dan sebagainya. Berburupun tetap dilakukan bahkan yang diacarakan secara masal dengan nama Nganyang. Ritual tahunan Sedekah Pungka Inu berupa ziarah ke makam leluhur tiada putus dilakukan sampai saat ini.
AKAR KONFLIK DI KOMUNITAS CEK BOCEK
Hingga tahun 1983 ,suasana ini berjalan normal. Sampai saat itu Masyarakat adat (Komunitas Adat) tetap eksis memanfaatkan hasil hutan adatnya atau tanah ulayatnya yaitu kegiatan sehari-hari mereka seperti memproduksi gula aren ( Bejalit ) yang dibuat dari air pola (enau) berjumlah 150 titik produksi (titik jalit) yang tersebar dalam wilayah ulayat yang + 30.000 Ha tersebut, Namun bibit konflik mulai ditebar. Berawal dari konsensi penguasaan wilayah adat/tanah ulayat oleh pemerintah dan perusahaan tambang yang ingin melakukan penambangan untuk dijadikan areal konsensi pertambangan. Penggunaan ulayat tersebut oleh PT.NNT. Pada tahun 1983-1986 dilakukan Survei Regional PT. NNT tersebut sehingga memasuki wilayah Blok Elang Dodo Rinti. Namun masyarakat tanpa sadar bahwa wilayahnya akan diekploitasi perusahaan raksasa. Dengan masuknya Survei tersebut akses masyarakat dengan ulayatnya sempat terhenti karena di stop oleh pemerintah, alasan mendasar pemerintah memberhentikan akses masyarakat adat tersebut dengan hutan adatnya adalah karena tanah ulayatnya akan digunakan sementara oleh pemerintah untuk survei pertambangan.
Awalnya masyarakat menerima kondisi ini.Namun setelah berakhirnya Survei tahun 1986, mereka tidak kunjung diberi akses ke hutan adat maka mulai dari itulah masyarakat adat gelisah dan ketakutan karena pemerintah mulai menjalankan tekanan-tekanan baik dari luar maupun dari dalam sendiri . Rupanya keadaan itu disebabkan oleh berlanjutnya proses survei kegiatan tambang yang ditingkatkan menjadi proses eksplorasi.Namun tak seperti apa yang telah dibayangkan oleh komunitas adat, bahwa dengan terhentinya dengan akses ulayatnya komunitas adat mengalami penderitaan panjang dan kerugian yang sangat besar. Karena salah satu tempat komunitas berharap hanya dari hasil produksi gula tersebut. Namun pemerintah tidak pernah ada perhatian terhadap komunitas, semuanya nyaris tidak terdengar.
Hari demi hari masyarakat adat mulai sadar bahwa selama ini mereka hidup dalam cengkraman ketakutan dan penderitaan panjang. Maka dengan lantang dan keberanian masyarakat adat menuntut kerugian dan janji kepada pemerintah namun nyaris tidak terdengar. Berawal dari itulah komunitas adat dengan berupaya sekuat tenaga agar kedepan mereka tidak akan hidup dalam kegelapan lagi. Dengan begitu bersi keras mereka melakukan penekanan pada pemerintah maupun pada investor yang masuk ke tanah ulayat mereka agar betul-betul memperhatikan keadaan mereka, karena mereka sadar bahwa tanah yang digunakan tersebut adalah benar-benar tanah kesejarahan,tanah titipan leluhur mereka.(FA)
0 komentar:
Posting Komentar