“Dulu kami
cukup pangan dan aman masuk hutan tanpa ketakutan. Sejak 2002 berubah. Kami
biasa ambil pohon buat bangun rumah meminta bantuan perusahaan PT Sari Bumi
Kusuma, tetapi menolak dan bilang pohon sudah ada pemilik, Taman Nasional Bukit
Baka-Bukit Bakar,” kata Albertus Mardius, masyarakat adat Ketumenggungan
Siyai Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, kala memberikan kesaksian di Mahkamah
Agung pada sidang
lanjutan gugatan UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H), Rabu
(3/12/14).
Ketumenggungan Siyai pernah bermigrasi sembilan kali.
Berpindah dari satu tempat ke tempat lain hingga menetap di satu lokasi tahun
1980. Bersamaan itu, masuk Sari Bumi Kusuma berjarak tujuh km dari kampung
mereka.
Tahun 1998, mereka pemetaan partisipatif bersama
instansi terkait. Pemerintah, Dinas Kehutanan, dan beberapa LSM untuk
mengetahui luas wilayah adat. Hasil pemetaan luas wilayah 14.259 hektar dengan
517 keluarga.
Mereka biasa meminta bantuan perusahaan untuk
mengangkut kayu karena jarak jauh dan akses masuk hutan sulit. Perusahaan
menolak, masyarakat marah. Mereka aksi penutupan jalan hingga enam warga
ditahan selama 49 hari.“Ditangkap tanpa ada penjelasan apapun.”
Keadaan diperparah patroli meningkat di lokasi
masyarakat biasa bekerja. Tahun yang sama, mereka tidak boleh lagi masuk
kawasan, berladang, mengambil hasil hutan, membawa rotan dan lain-lain.
“Termasuk tidak boleh menyadap karet sekitar dua km
dari kampung. Patroli berlanjut sampai 2007, ketika ada enam warga berladang,
dua orang ditangkap. Perkara hingga ke Mahkamah Agung. Kami dinyatakan bersalah
karena berladang di taman nasional.”
Sebelumnya, kata Albertus, masyarakat, tidak
mengetahui TN Bukit Baka-Bukit Bakar. Penunjukan hingga penetapan tidak pernah
melibatkan mereka. Padahal, masyarakat mengelola kawasan itu puluhan tahun.
“Tidak jelas bukit mana yang dipakai untuk menyebut
itu. Tahun 2007, kami baru tahu, saat itu ladang-ladang tidak boleh
ditanami padi. Kami aksi, sangat sulit, setiap aksi hanya bertemu polhut. Upaya
menyelesaikan gagal terus,” katanya.
Albertus mengatakan, masyarakat merada tidak aman
lagi, ladang dan pondok dirusak. Warga juga diusir.
Tersingkir dari wilayah hidup juga dialami Masyarakat
Adat Cek Bocek di Kecamatan Ropang, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Datuk Sukanda,
dari komunitas adat Cek Bocek menceritakan, mereka turun menurun hidup
mengelola hutan. Namun, 1935, Belanda mengusir mereka hingga pindah ke
Desa Lawi. “Mereka menetap di sana tetapi kegiatan di hutan terus berjalan,”
katanya.
Namun, pada 2011 masyarakat tidak boleh masuk hutan.
Pemerintah melarang keras dengan alasan sudah menjadi hutan lindung.
“Pemerintah memutuskan hutan lindung diam-diam. Kami
ragu beraktivitas, tidak sebebas dahulu. Kalau itu hutan lindung, mengapa ada
perusahaan beroperasi?”
UU P3H abai legal policy
Pakar Hukum Tata Negara Maruarar Siahaan mengatakan,
putusan MK 45 Tahun 2011 tegas menyatakan, penunjukan kawasan hutan tanpa
melalui melalui proses yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan,
merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter. Begitu juga Putusan MK Nomor 35
tahun 2012 yang mengeluarkan hutan adat dari hutan negara. “Ini pengakuan dan
implementasi konstitusi tentang hak-hak masyarakat hukum adat menjadi bagian
tidak terpisahkan dari arah perubahan dan pembaharuan hukum yang
dilakukan,” katanya.
Pada Pasal 15 UU Kehutanan, disebutkan
penunjukan kawasan hutan adalah salah satu tahap proses pengukuhan, bukan
bentuk final dari rangkaian penetapan kawasan hutan.”
Ketentuan ini, katanya, harus memperhatikan
kemungkinan ada hak-hak perseorangan maupun ulayat pada kawasan hutan yang akan
ditetapkan. Kala terjadi, penataan dan pemetaan batas kawasan hutan harus
dikeluarkan agar tidak merugikan masyarakat.
“Ketidaktaatan arah yang dirumuskan dalam politik
hukum harus ditempuh baik karena kesengajaan maupun kelalaian, menyebabkan
produk hukum yang dihasilkan tidak bergerak ke arah ius constituendum yang diinginkan. Tidak memenuhi
harapan mewujudkan tujuan negara yang ditetapkan dalam konstitusi.”
Dia berpendapat, norma-norma dalam UU P3H mengabaikan legal policy yang sepatutnya dikenali dalam UUD
1945 dan putusan MK nomor 45 dan 35. “Khusus kawasan hutan yang ditunjuk dengan
implikasi luas atas kepentingan hukum rakyat yang sah berkenaan dengan
kawasan hutan. Ini membawa akibat tidak dapat dipertahankan norma-norma baru
itu.”
Dalam pembuatan UU, katanya, seharusnya
identifikasi terhadap seluruh regulasi yang saling berkaitan.
Advokat PIL-Net, Andi Muttaqien mengatakan, para saksi
bisa menjelaskan bagaimana konflik wilayah yang ditetapkan pemerintah dengan
wilayah adat. “Hingga wilayah masyarakat adat hilang. Itu disertai
kriminalisasi. Meski saksi-saksi ini mengatakan peristiwa penangkapan dan
kriminalisasi terjadi jauh sebelum UU P3H disahkan, dengan P3H kejadian pasti
terulang. Karena ancaman pidana P3H lebih kompleks daripada UU Kehutanan.”
Usai sidang Gunardo Agung, dari Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan mengatakan, pendapat ahli mempunyai semangat sudah benar.
Hanya dia merasa, ahli belum membaca UU P3H secara utuh.
“Kalau sudah membaca utuh, tentu tak akan ngomong
seperti itu. Definisi kawasan hutan sudah terkoreksi. Bahwa kawasan hutan itu
yang sudah ditetapkan. Kami juga lebih paham daripada dia,” katanya.
Begitu juga keterangan masyarakat adat. Menurut dia,
mereka hanya mempunyai semangat tetapi tak paham substansi UU P3H.
“Justru kalau UU P3H tidak lahir, marak penebangan
liar. Apa hutan mau dijadikan padang pasir? UU ini untuk menjerat kejahatan
terorganisir. Pembalakan liar oleh korporasi. Masyarakat tak ada yang kita
tangkap. Malah kita bina,” katanya. Dia menutup
mata beberapa warga yang hidup di kawasan hutan sudah terjerat P3H.
Namun, dia mengakui selama ini belum ada perusahaan
dijerat UU P3H. Dia menilai, perusahaan sudah ketakutan dengan UU P3H.
0 komentar:
Posting Komentar